Friday, November 23, 2012

Kita Perlu Marah Demi Nasib TKI




KUALA LUMPUR

Kasus pemerkosaan seorang wanita warga negara Indonesia (WNI) yang dilakukan oleh 3 oknum polisi Malaysia di dalam Kantor Polisi di Prai, Pinang mendapatkan penangguhan penahanan dari pengadilan dengan menyetor uang jaminan sebesar Rp75 juta setiap orangnya.
Dalam persidangan di Pengadilan Sesyen Pulau Pinang, Jumat (16/11), Hakim Nabishah Ibrahim membenarkan setiap tertuduh dijamin masing-masing sebesar Rp75 juta.
Ketiga polisi tersebut diwajibkan melaporkan diri ke kantor polisi setiap bulan sekali dan menetapkan tanggal 12 Desember 2012 untuk mendengarkan keterangan dari korban perkosaan.
Terkait dengan jaminan sebesar Rp75 juta untuk setiap pelaku tersebut, KBRI di Malaysia merasa kecewa dan tengah mempersiapkan pengacara untuk memberikan masukan terhadap pihak pendakwa diproses pengadilan nantinya.
“Pastinya kecewalah. Tapi tentunya ada pertimbangan-pertimbangan hakim yang kita tidak bisa intervensi,” kata Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia, Mulya Wirana.
Namun demikian, kata dia, hal tersebut baru proses pra peradilan, jadi harus kita ikuti proses peradilan itu selanjutnya.


Menurut Wirana, proses peradilan sosial atas kasus perkosaan tersebut telah berlangsung, mulai dari keluarganya, handai taulan ataupun masyarakat sekitar pelaku itu sendiri.
 ”Sebab apapun alasannya, aib perbuatan tersebut telah melekat pada diri pelaku,” ungkapnya.
Ditegaskannya lagi, pihak KJRI Penang juga telah mempersiapkan pengacara untuk beri masukan terhadap pendakwa di proses pengadilannya nanti.
Kronologis kejadian pemerkosaan berawal ketika SM, seorang WNI saat bersama dengan temannya terjaring pemeriksaan, pada Jumat (9/11) sekitar pukul 06.00 yang dilakukan oleh polisi setempat.
Dia dinyatakan tidak memiliki dokumen yang lengkap karena hanya mempunyai dalam bentuk fotokopi paspor sehingga dirinya digiring ke Kantor Polisi di Prai, Pulau Pinang, Malaysia.
“Polisi tidak mau menerima paspor yang fotokopi dan saya pun dibawa ke kantor polisi,” ungkap dia.
Pada saat itu korban minta dilepaskan tapi tidak diberikan, bahkan oleh tiga pelaku tersebut dia malah diperkosa. Setelah itu SM pun dibebaskan.
“Setelah melakukan itu, mereka mengirim balik ke tempat tinggal di Taman Indrawasih, Prai dengan menggunakan mobil polisi dan mengancam agar tidak menceritakan kejadian tersebut kepada orang lain” ungkap SM.


Namun demikian, SM kemudian dengan dibantu temannya melaporkan kasus tersebut ke kantor pengaduan Partai Politik MCA (Malaysian Chinese Association) dan kemudian diekspos ke sejumlah media massa di Malaysia.

Kasus tenaga kerja wanita dari Indonesia yang diperkosa di Malaysia sungguh memiriskan kita. Dalam pekan ini meruyak dua kasus pemerkosaan. Pertama, kejadian 5 November 2012.

Seorang TKW diperkosa majikannya di Negeri Sembilan. Ia juga disekap oleh istri sang majikan. Pasangan suami istri itu kini buron.

Kedua, kejadian 9 November 2012 di Pulau Penang.

Seorang TKW diperkosa tiga polisi saat diperiksa di kantor polisi setempat.

Untuk kedua kasus ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri sudah mengirimkan nota protes.

Pemerintah Malaysia sendiri menyatakan akan memproses dan menindak tegas para polisi jika terbukti melakukan pemerkosaan. Sedangkan majikan dan istrinya terus dikejar oleh aparat kepolisian di sana.

Kedua kasus ini mendapat perhatian luas masyarakat di negeri ini. Bagaimanapun, sejumlah perlakuan terhadap TKI di Malaysia menyisakan luka hati. Kadang, jika melihat kondisi TKI yang mengenaskan, maka emosilah yang muncul kemudian.
Sampai-sampai terbetik ucapan dari sejumlah warga, "saudara kita yang bekerja di Malaysia diperlakukan seperti budak belian". Atau, mengutip lontaran kalimat yang konon sering diucapkan oleh Raja Dangdut H Rhoma Irama, "sungguh terlalu...".

Jika melihat kasus demi kasus yang menimpa TKI di Malaysia, wajar jika emosi rakyat bergolak. Sejumlah perilaku tak berperikemanusiaan yang dilakukan terhadap TKI antara lain terungkap dari situs migrantcare.

Seperti, banyak TKW yang dipaksa menjadi budak seks. Satu di antaranya terjadi di George Town, Penang, Malaysia. Seorang wanita dipaksa melayani ratusan pria selama dua bulan. TKW malang itu dipaksa menjadi budak seks oleh dua warga negara Bangladesh.

Ada pula kasus Siti Hajar, pembantu rumah tangga yang disiksa dan tidak dibayar gajinya selama 34 bulan. Hajar mengaku selalu disiksa, disiram air panas, dipukul dengan benda keras hingga mengalami luka parah. Lainnya, kasus Ida Suahini, TKW asal Desa Ambawang Kuala, Kecamatan Sungai Ambawang, Kubu Raya, yang berangkat ke Malaysia dalam kondisi prima.

Namun, setelah kembali ke tanah air, kondisinya sangat mengenaskan. Dia pulang hanya tulang berbalut kulit, dan juga lupa ingatan.

Nasib buruk yang dialami sebagian TKI yang mencari nafkah di luar negeri semestinya mendapat perhatian besar dari pemerintah.

Kalau perlu, kita bersikap tegas, seperti yang dilontarkan Juru Bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, yang dengan lantang mengusulkan kepada Kementerian Luar Negeri untuk memulangkan sementara Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato Syed Munshe Afdzaruddin bin Syed Hassan. Jika langkah politik seperti itu bisa memberi shock therapy, mengapa tidak?

Nota protes memang sudah dilayangkan oleh Kemenlu. Pertanyaan kita, apakah itu cukup? Sekali lagi, rasa-rasanya kita perlu memperlihatkan sikap "marah" atas perlakuan terhadap saudara kita, yang semoga "kemarahan" itu mendapat sambutan dari negeri jiran dengan melakukan perbaikan dalam sistem yang mereka terapkan.

Wajar dong kalau kita menuntut agar saudara-saudara kita yang sedang mencari nafkah di sana mendapat perlakuan yang lebih manusiawi, bukan perlakuan yang disamakan dengan budak.

Pada sisi lain, kita pun perlu "marah" pada pemerintah kita sendiri, sehingga mereka secara profesional menyiapkan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat, agar tak ada lagi TKI yang tergiur mencari ringgit atau dolar di luar negeri meski dengan risiko terinjak-injak harga dirinya.

No comments:

Post a Comment